Disusun Oleh :
Olivia Souissa
Edit & Publikasi :
Benjamin. Th. Soumokil
LATAR BELAKANG
Peta Zona Pengendalian Hutan Lindung Gunung Sirimau Kota Ambon |
Pembangunan
berkelanjutan (Sustainable development)
dapat diartikan sebagai kelestarian yang menyangkut aspek fisik, sosial,
politik dan ekonomi dengan memperhatikan pengelolaan sumber daya alam yang
mencakup hutan, tanah dan air, pengelolaan dampak lingkungan, serta pembangunan
sumber daya manusia (human resources
development). Salah satu kegiatan pembangunan berkelanjutan adalah sektor
pariwisata, sebab dari sektor pariwisata dapat dimanfaatkan sebagai peluang
lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan sekaligus mendatangkan devisa yang
mendukung pencapaian pendapatan asli daerah.
Pariwisata
sebagai salah satu sektor pembangunan yang tidak dapat dilepaskan karena sangat
terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah
sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.Pariwisata memiliki potensi yang
memungkinkan bagi perumusan strategi pembangunan di negara-negara berkembang,
sehingga dianggap sebagai pintu masuk bagi kesejahteraan masyarakat. Selain
sebagai sumber penerimaan devisa, pariwisata dirasakan juga memiliki banyak
elemen yang dapat mendorong transformasi ekonomi, dari karakter negara
pertanian yang tradisional menuju masyarakat modern industrial.
Pembangunan pariwisata
berkelanjutan, dapat dikatakan sebagai pembangunan yang mendukung secara
ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil etika dan sosial terhadap
masyarakat. Sesuai dengan isi pasal 5 UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengembangan ekoturisme di kawasan
pelestarian alam seperti taman nasional, taman hutan raya maupun hutan lindung
harus memenuhi tiga prinsip yaitu pertama menjamin perlindungan sistem
penyangga kehidupan, kedua adalah memelihara pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, ketiga menyangkut pemanfaatan secara
lestari suberdaya hayati. Dengan adanya sektor pariwisata maka sangat penting
untuk dikembangkan bersama baik dari pihak pemerintah maupun dari semua pihak.
Kebijaksanaan
pengembangan objek wisata alam dilandasi beberapa Peraturan Perundangan yang
telah disusun menunjang pengembangan kegiatan pariwisata alam dan upaya
konservasi antara lain
- UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- UU No. 5 Tahun 1990 pasal 34 ayat 4 yaitu memberi kesempatan kepada rakyat untuk ikut berperan dalam usaha di kawasan pelestarian alam
- SK Menteri Kehutanan No. 68/KPTS-II tahun 1989 tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut
- PP No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
- PP No. 18 tahun 1994 pasal 11
Secara
Topografis, Negeri Soya berbukit-bukit yang merupakan gejala morpologis. Negeri
Soya adalah sebuah Negeri Adat, terletak di pinggir Kota Ambon, dengan puncak Gunung Sirimau sebagai Icon-nya.
Keadaan demikian menjanjikan kesuburan tanah yang dapat diusahakan dengan
tanaman buah-buahan dan tanaman umur panjang lainnya. Dengan Letaknya di
ketinggian daerah pegunungan serta curah
hujan yang cukup tinggi, maka Negeri
Soya memiliki hutan yang subur, dengan ditumbuhi aneka ragam tanaman dan
tumbuh-tumbuhan liar. Semua sunga yang bermuara di pantai Teluk Ambon mulai
dari Waihaong sampai ke pantai Passo, bersumber di lereng-lereng Gunung Sirimau
dari petuanan Negeri Soya.
Karena
letaknya diketinggian, Negeri di Kaki Gunung Sirimau ini amat sejuk, karena
berhembusnya angin barat. Suasana ini
benar-benar membawa kita dalam suasana rileks. Negeri ini pula memiliki
cukup banyak flora yang tumbuh secara liar di hutan dan dapat dikoleksi. Bukan
hanya itu, Negeri Soya kaya dengan buah-buahan seperti, Durian(Durio zibentinus), Manggis(Garcinia mangostana), Lachi(Litchi chinensis), serta Salak(Salacca amboninensis). Bahkan
buah-buahan ini telah menjadi trade mark, bagi buah-buahan yang ada di
Kota Ambon karena kelezatannya dan selalu segar. Sejumlah hasil hutan lain yang dipandang cukup produktif bagi
pengembangan ekonomi rakyat adalah, damar, kayu untuk ramuan rumah, rotan, dan
lain-lain. Negeri ini juga kaya dengan tanaman rempah-rempah antara lain :
pala(Myristica fragrans), cengkih(Syzygium aromaticum), serta kelapa(Cocos nucifera). Dengan keragaman hayati dan flora yang ada, serta
alamnya yang subur, maka tak heran jika sebagian besar penduduknya adalah
petani, disamping sebagai penyadap pohon aren (tifar). Hasil dari penyadapan
pohon aren (mayang) sebagian besar dijadikan sopi (alkohol) yang selanjutnya
dijual ke Kota Ambon. Negeri Soya dalam kenyataannya menjadi salah satu daerah hinderlandbagi
Kota Ambon dalam mensuplay berputarnya roda ekonomi pasar.
Hutan lindung sirimau merupakan
ekosistem hutan yang berfungsi menyangga kehidupan, yakni untuk mengatur tata
air, mencegah banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah.
Selain sebagai sisitem penyangga kehidupan, Hutan Lindung Gunung Sirimau
merupakan Daerah Tangkapan air bagi Kota Ambon. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan ada kegiatan atau aktifitas produksi / penebangan di dalamnya.
Kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau memiliki
keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi serta potensi objek wisata. Selain
sebagai kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau juga memberikan manfaat secara
ekologis bagi daerah di sekitarnya. Selain memberikan manfaat bagi masyarakat
dan perekonomian daerah, Hutan Lindung Gunung Sirimau juga dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan setempat jika pengelolaanya tidak
direncanakan secara baik akan menimbulkan kerugian di masa mendatang. Permasalahan utama yang terjadi adalah belum
didayagunakan secara optimal potensi yang ada, misalnya dalam pengelolaan
kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau, masih kurang adanya campur tangan
pemerintah setempat dalam pengelolaan sehingga objek wisata tersebut
terabaikan. Kurangnya kepedulian dari pemerintah dan masyarakat terhadap keberadaan objek wisata
tersebut maka berimplikasi pada pemeliharaan dan pengembangan wisata seperti,
dalam Hutan Wisata Gunung Sirimau. Selain permasalahan pengunjung,ketersediaan
sarana dan prasarana dasar belum memadai dan belum ada upaya pemberdayaan masyarakat
yang berada di sekitar kawasan hutan lindung tersebut, sehingga masyarakat
belum memiliki kesadaran untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya yang ada.
Dengan adanya kompleksitas permasalahan di kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau
maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui berbagai potensi dan prospek
pengembangannya, sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangan ekowisata di
kawasan tersebut. Dengan demikian, pengembangan ekowisata di Hutan Lindung
Gunung Sirimau diharapkan tidak bertentangan dengan fungsi utamanya sebagai
hutan lindung.
Hutan
Lindung Gunung Sirimau mempunyai potensi alam yang khas dimana keanekaragaman
flora dan fauna serta budayanya. Adanya potensi sumber daya alam Kawasan Hutan
Lindung Gunung Sirimau belum didayagunakan secara optimal dalam pengelolaan
kawasan wisata. Terkait dengan hal
tersebut, ada beberapa perumusan masalah yang ada di kawasan Hutan Lindung
Gunung Sirimau :
a. Belum adanya upaya inventarisasi potensi pengembangan
wisata berbasis lingkungan dan masyarakat (ekowisata)
b.
Bagaimana strategi pengelolaan ekowisata pada kawasan
Hutan Lindung Gunung Sirimau
c. Apa
prioritas strategi
yang tepat dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Sirimau
KEADAAN UMUM HUTAN LINDUNG
GUNUNG SIRIMAU
Letak Geografis dan Administrasi
Letak Hutan Lindung Gunung Sirimau
secara administratif sesuai dengan Peraturan Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006
berada pada 3 (tiga) Wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sirimau (petuanan Desa
Soya dan STAIN-Air Besar Desa Batumerah), Kecamatan Teluk Ambon Baguala
(Petuanan Desa Passo dan Desa Halong), dan Kecamatan Leitimur Selatan (Petuanan
Desa Hutumuri, Desa Rutong, Desa Lehari dan Desa Hukurila).
Negeri Soya
adalah sebuah Negeri Adat, terletak di pinggir Kota Ambon, dengan puncak Gunung Sirimau sebagai Icon-nya.
Negeri ini berada di ketinggian ± 464 M dari permukaan laut, berbatasan; sebelah Timur dengan
Negeri Hutumury dan Negeri Leahary; sebelah Barat dengan Negeri
Urimessing; Sebelah Barat Laut dengan
Kota Ambon sebelah selatan dengan Negeri Hatalai, Naku Kilang dan Ema; dan
sebelah Utara dengan Laut Teluk Ambon. Suhu udara pada umumnya berkisar antara
20° - 30° C.
Keadaan Geologi
Peta Geologi Pulau Ambon |
Menurut Peta
Geologi Pulau Ambon yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen
Pertambangan dan Energi Peta Geologi Kota Ambon Skala
1:100.000 Tahun 2008, kondisi geologi Hutan
Lindung Gunung Sirimau dibentuk oleh 4 (empat)
formasi batuan, yaitu : Formasi Kanike (bagian tengah dari hutan
lindung), Batuan Gunung Api Ambon (Tpav) yang berupa
material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit dan breksi tuf. Pada
bagian dekat pantai didominasi oleh Batuan Gamping
Koral (Q1) yang terdiri dari koloni koral, ganggang dan bryozoa yang secara
fisik berwarna putih–kotor, keras, berongga-rongga yang terisi kalsit dan
pecahan koral Batuan Ultramafik.
Topografi
Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Kota Ambon skala
1 : 100.000 Tahun 2008 maka keadaan topografi Hutan Lindung Gunung Sirimau di
kelompokan dalam dalam 5 kelas yaitu : datar (0-3 persen), landai (3–8 persen),
bergelombang (8-15 persen), agak curam (15–30 persen) dan curam (30-40 persen).
Ketinggian tempat berdasarkan hasil pengukuran GPS pada lokasi penelitian
berkisar antara 50 – 525 m dari
permukaan laut (dpl). Berdasarkan hasil analisis
spasial kontur pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1:25.000 menggunakan software tambahan (extension software) 3D Analist
dan Spatial Analist.
Keadaan Iklim
Data iklim lokasi penelitian
diperoleh dari Stasiun Metereologi dan Geofisika Karang Panjang Ambon selama
sepuluh tahun terakhir (1999-2009) dapat dilihat pada Tabel 8.
Berdasarkan klasifikasi iklim oleh
Schmidth dan Ferguson (1951), Kota Ambon termasuk tipe iklim B dengan nilai Q
sebesar 16,5 persen (klasifikasi basah
nilai Q : 14,3 – 33,3 persen) yang dicirikan oleh rataan bulan kering (Curah
hujan < 60 mm) sebesar 1,4 bulan dan jumlah rata-rata bulan basah (curah
hujan > 100 mm) sebesar 8,5 bulan.
Data curah hujan berdasarkan Tabel 8,
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan di daerah penelitian sebesar
316,8 mm per tahun, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan agustus
yaitu sebesar 771,4 mm dan terendah terjadi pada bulan maret sebesar 98.2 mm.
curah hujan yang demikian tinggi turut memberi pengaruh terhadap proses-proses
fotosintesis dan pertumbuhan tanaman atau vegetasi di daerah penelitian, selain
faktor lainnya yang juga turut berperan dalam proses penambatan karbon.
Suhu udara rataan tahunan di kota
Ambon berkisar antara 21,2 0C (bulan Agustus) sampai 28,6 0C
(Maret). Suhu udara maksimum di kota Ambon tidak melebihi 32 0C,
sedangkan suhu udara minimum jarang mencapai 20 0C. Lama penyinaran
matahari rataan tahunan sebesar 61,85 persen berkisar antara penyinaran
terendah pada bulan Mei sebesar 50.90 persen dan terrendah pada bulan Nopember
sebesar 83.60 persen. Lamanya penyinaran matahari sangat mempengaruhi prose
Fotosintesis untuk pembentukan karbon. Kelembaban udara di kota Ambon umumnya
tinggi sepanjang tahun, rata-rata di atas 72,2 persen. Kelembaban udara rataan
bulan tertinggi sebesar 87 persen terjadi pada bulan Juni dan terendah 67
persen pada bulan Januari dan Pebruari.
Keadaan Sosial Ekonomi
Berdasarkan
data Statistik Kota Ambon Tahun 2009 maka jumlah penduduk yang berada di
sekitar lokasi Hutan Lindung Gunung Sirimau sejumlah 81.103 orang. Jumlah
penduduk terpadat berada pada Desa Batumerah sebesar 37.408 jiwa sedangkan
penduduk terrendah berada pada Desa Hukurila sebanyak 688 jiwa. Jumlah peduduk yang padat jika tidak diimbangi dengan kesediaan lahan untuk
permukiman maka akan sangat berpotensi pada terjadinya penyerobotan lahan ke
dalam hutan lindung serta kebutuhan hidup masyarakat yang berada di sekitar
hutan sangat bergantung pada hasil hutan. Salah satu indikator untuk melihat
keadaan sosial ekonomi pada suatu daerah adalah melalui mata pencaharian.
Mata
pencaharian penduduk di dominasi oleh pekerjaan lain-lain (tenaga buruh,
pedagang, nelayan dan lain-lain) sebanyak 7.680 Orang. Untuk desa-desa yang
berdekatan dengan daerah perkotaan hampir sebagian besar masyarakatnya bekerja
pada Instansi Pemerintah, Swasta dan menjual jasa, sedangkan desa-desa yang
jauh dari daerah perkotaan memiliki mata pencaharian yang di sesuaikan dengan
musim. Saat musim timur (bulan Mei s/d Oktober) penduduk akan mengusahakan
lahan-lahan/petuanan untuk tanaman pertanian sedangkan pada saat musim barat
(bulan Desember s/d Maret) penduduk yang berada di pesisir-pesisir pulau akan
pergi kelaut untuk mencari ikan.
Untuk
penduduk yang bermata pencaharian petani (1.200 orang) hampir sebagian besar
memiliki areal pertanian/petuanan di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau
dimana setiap pembukaan lahan untuk lokasi pertanian dilakukan dengan menebang
pohon-pohon kemudian digantikan dengan tanaman-tanaman pertanian, perkebunan
dan tanaman-tanaman buah-buahan.
Tata Guna Lahan
Penatagunaan hutan kesepakatan adalah kegiatan guna menentukan peruntukan
hutan di wilayah yang bersangkutan menurut fungsinya, yang didasarkan atas
kesepakatan antara instansi yang berkaitan dengan pengunaan lahan.
Dasar-dasar pertimbangan dalam penyusunan rencana penatagunaan hutan
kesepakatan adalah letak dan keadaan hutan (antara lain potensi, flora dan
fauna), topografi, keadaan dan sifat
tanah, iklim, keadaan dan perkembangan masyarakat dan keterangan lain-lain yang
ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 680/Kpts/Um/8/1993 dan
dipertegas oleh Keputusan Presiden RI
Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolahan kawasan lindung berdasarkan
skoring/faktor penciri.
Hasil
survei dan penjumlahan skoring dari faktor-faktor penciri (kemiringan lereng,
jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi dan faktor curah hujan). Dengan
jumlah nilai sama dengan atau lebih dari 175 atau memenuhi salah satu atau
beberapa syarat yang tesedia maka lahan tersebut di kelompokan dalam Hutan
Lindung, Hutan Produksi Terbatas dengan jumlah skoring 125-174 dan Hutan
Produksi Bebas dengan jumlah skoring < 124.
Kawasan
Hutan Lindung Gunung Sirimau merupakan kawasan hutan yang keberadaannya perlu
dilindungi baik flora maupun fauna dari ancaman kerusakan yang ditimbulkan oleh
alam sendiri maupun manusia. Jenis-jenis Flora yang terdapat dalam kawasan
Hutan Lindung Gunung Sirimau adalah : jenis kayu (Peterocarpus indicus), kenari (Canarium
commune), damar (Agathis alba),
matoa (Pometia pinata) dan
jambu-jambuan (Eugenia sp.) adapun
jenis fauna yang terdapat dalam kawasan tersebut antara lain : nuri raja (Alisterus amboinensis), perkicit (Triholousus spp), babi hutan (Sus crova) dan lain-lain. Pada beberapa tempat dalam Hutan
Lindung Gunung Sirimau terdapat pembukaan areal untuk perkebunan cengkeh (Syzygium aromaticum) bahkan dusun-dusun cengkeh (Syzygium aromaticum) sudah sampai di hulu sungai (sumber air)
sehingga pada musim kemarau sangat mempengaruhi debit aliran sungai.
Berdasarkan
kedua dasar di atas maka pada tahun 1993 dilakukan penataan tata batas Hutan
Lindung Gunung Sirimau dengan panjang batas 28.269,17 m dan ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan Fungsi Hutan Lindung
sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10327/Kpts-II/2002, tanggal 30
Desember 2002, dengan luas 3.449 ha.
Hasil
pengamatan di lapangan dan data sekunder (peta penutupan lahan Kota Ambon tahun
2008 dan hasil survei kebun plasma nutfah di Kota Ambon, 2007) Penggunaan lahan
di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau sangat bervariasi dari yang masih
berupa hutan sampai kegiatan permukiman. Kondisi hutan lindung dikelompokan
menjadi 5 (lima) kelompok yaitu : hutan lahan kering primer, hutan lahan kering
sekunder, semak belukar, pertanian lahan kering dan permukiman.
Secara yuridis kawasan ini termasuk
kawasan Hutan Lindung yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan menteri tetapi
secara de facto kawasan ini merupakan petuanan / dusun-dusun masyarakat.
Sehingga dalam pengelolaannya masyarakat lebih mengutamakan prinsip hasil untuk
menunjang kesejahteraan keluarga.
Proses pengelolaan hutan (dari hutan primer) yang dilakukan oleh
masyarakat yaitu menebang pohon-pohon besar yang kurang mempunyai nilai
ekonomi, membakarnya kemudian menanaminya dengan tanaman-tanaman perkebunan. (hutan sekunder, pertanian lahan kering).
Pada saat mendekati panen maka lahan/dusun
kembali dibersihkan untuk menanti panenan kemudian lahan ditinggalkan
kembali, sedangkan untuk lahan perladangan berpindah setelah selesai menikmati
hasil panennya maka masyarakat akan berpindah ke tempat yang baru mencari
daerah yang subur.
Diduga daerah
bekas-bekas perladangan berpindah inilah yang beralih peruntukannya dari hutan
sekunder menjadi pertanian lahan kering dan semak belukar akibat adanya campur
tangan manusia dan suksesi alami. Pada Tahun 2005 terjadi kebakaran
hutan pada kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau yang disebabkan secara alami
dampak dari kebakaran tersebut diduga
telah menyebabkan terjadinya perubahan lahan dari hutan lahan sekunder menjadi
semak belukar. Kayu-kayu bekas kebakaran hutan yang terdekomposisi kedua hal
ini juga turut memberikan sumbangan emisi CO2 ke udara. Pada daerah
pertanian lahan kering yang berdekatan dengan
pemukiman bentengkarang di Wailiha telah dibangun tempat pembuangan sampah (IPST) hal ini juga
merupakan sumber metana (CH4) yang dapat juga turut memberikan
sumbangan emisi CO2 ke udara.
Hidrologi
Pola drainase (drainage pattern) daerah Soya termasuk dalam tipe
dendritik. Tiga sungai yang besar adalah Air Basar yang bermuara di pantai Batu
Merah dan pantai Galala, Wai Ruhu yang bermuara di pantai Galala, Wai Yori yang
bermuara di pantai Passo, dan Wai Toisapu yang bermuara di toisapu. Proses
hidrologi dari hilir ke sungai pada saat musim hujan debit air akan meluap dan
pada saat musim kemarau debit air akan menurun bahkan sampai mengering.
Aksesibilitas
Untuk
mencapai Negeri Soya dapat digunakan kenderaan jenis apapun dengan kondisi
jalan yang berliku-liku namun mulus, dengan jarak kurang lebih 4 Km dari pusat
Kota Ambon. Kendaraan umum yang dapat digunakan untuk sampai ke lokasi ini
yaitu angkutan kota dengan jurusan soya. Angkutan ini akan berhenti di depan
pintu masuk kawasan dengan tarif Rp 2.500 per orang
POTENSI PENAWARAN WISATA
Objek dan Daya tarik Wisata Alam (ODTWA)
Hutan Lindung
Gunung Sirimau (HLGS) mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi dan
budayanya untuk pengembangan ekowisata. Potensi penawaran ekowisata HLGS yaitu
obyek wisata yang memiliki daya tarik dan keunikannya, seperti potensi
biofisik dan potensi budaya. Keindahan panorama alam, keanekaragaman flora, fauna
yang beragam serta tantangan medan yang kerap manjadi daya tarik tersendiri,
juga keragaman budaya masyarakat adalah aset potensial bagi kawasan Hutan
Lindung Gunung Sirimau untuk pengembangan ekowisata.
Penawaran ekowisata merupakan suatu bentuk ekologi dan estetika alami dengan
berbagai bentuk ekosistem yang dimiliki oleh suatu kawasan. Potensi ini menjadi obyek wisata
yang
ditawarkan kepada masyarakat umum (Tropenbos International
Indonesia 2006).
1. Pemandangan Alam
Pemandangan Alam yang terlihat dari atas Gunung Sirimau |
Kawasan HLGS memiliki kondisi
jalan yang baik yang menuntut para pengunjung untuk menaiki anak tangga yang
panjang untuk menuju lokasi sehingga mempunyai tantangan tersendiri bagi
pengunjung yang menyenangi tantangan. Untuk menuju puncak gunung,
sepanjang jalur
tersebut pengunjung akan menjumpai
pohon-pohon yang beragam ukuran dan jenisnya seperti damar (Agathis alba), durian (Durio zibentinus), kecapi (Sodoricum koetjape), manggis (Garcinia mangostana), duku (Lansium domesticum), salak (Salacca amboninensis), anggrek
kelapa (Phalaenopsis
amabilis) dan lain-lain Suasana lembab dan minimnya inensitas
cahaya matahari yang menembus lantai hutan serta hembusan angin semakin
menambah suasana kesejukan saat berjalan. Di dalam perjalanan ke puncak gunung,
pengunjung dapat berisitirahat sejenak pada tempat-tempat duduk yang telah
dibuat oleh Dinas Pariwisata. Dari sini pengunjung dapat melihat secara
langsung pemandangan Kota Ambon dengan udara yang sejuk serta pegunungan yang
indah.
2. Daya tarik Biologi
1.
Flora
Kawasan Hutan Lindung Gunung
Sirimau merupakan kawasan hutan yang keberadaanya perlu dilindungi baik flora
maupun fauna dari ancaman kerusakan yang ditimbulkan oleh alam sendiri maupun
manusia.
Hutan
Lindung Gunung Sirimau memiliki flora yang dapat menjadi obyek yang menarik
bagi para pengunjung yang terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder,
khususnya untuk tujuan pendidikan dan penelitian.
Jenis-jenis flora yang terdapat dalam kawasan Hutan Lindung Sirimau adalah kayu
merah (Eugenia rumphii), damar (Agathis alba), nani (Metrosideros petiolata), arupa (Ganua
boerlageana), asoer (Podocarpus
rumpii), haleki daun kecil (Macaranga
involucrate Bl), haleki daun besar (Macaranga
hispida Bl), husor (Garcinia cornea),
katapang (Terminalia catappa), nanari (Canarium sylvestre),
parua (Helicia molluccana), taheru (Weinanmia froxinea Smith), okir (Schizomeria serrata Hochr), manggis (Garcinia manggostana), Palala (Knema sp), gondal (Ficus septica), cengkeh (Syzygium
aromaticum), pala (Myristica fragrans),
bintanggur (Callophyllum inophyllum).
·
Kondisi vegetasi pada Hutan
Lindung Gunung Sirimau
·
Kerapatan spesies
· Frekuensi spesies
· Dominansi spesies
· Indeks Nilai Penting
· Keragaman Jenis
2.
Fauna
Hutan Lindung Gunung Sirimau
memiliki keanekaragaman fauna, berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat
maupun pengamatan secara langsung terhadap keberadaan satwa yang pernah dan
sering terlihat di kawasan HLGS, yaitu yang ditandai dengan penemuan jejak
berupa jejak kaki, jejak cakaran pada pohon dan kayu, suara, jejak feses dan bekas makanan yang telah
dimakan oleh satwa pada jalur menuju kawasan. Adapun jenis fauna yang
terdapat dalam kawasan tersebut adalah nuri raja (Alisteris ambonensis), perkicit (Triholousus spp), maleo (Macrocephalon
maleo), bayan (Electus
rotatus), kakatua putih (Cacatua alba),
raja udang (Halcyon soneta), pombo (Ducula becolor), elang (Heliactus sp), lawa-lawa (Colocalia esculenta) , hantu (Otus migicus beccarii) dan untuk jenis mamalia khas Maluku yaitu kus-kus (Phalanger orientalis), dan babi hutan (Sus crova).
Wisata Sosial Budaya
1. Kebudayaan Negeri Soya
Selain potensi alam Kawasan Hutan
Lindung Gunung Sirimau juga kaya akan wisata budaya dengan tetap menjaga
pelestarian hutannya. Salah satu wisata budaya yang terkenal yaitu dari Negeri
Soya. Negeri Soya tidak dapat dipastikan
kapan berdirinya. Negeri ini termasuk Negeri yang tertua di Jasirah Leitimor.
Berdasarkan penuturan dan cerita-cerita tua,
Leluhur yang mendiami negeri Soya berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram)
antara lain, dari Seram Utara, kurang
lebih tempatnya dekat Sawai suatu
wilayah yang bernama “Soya”, serta dari Seram
Barat (sekitar daerah Tala).
Dari sumber cerita yang ada,
perpindahan para leluhur orang Soya datang secara bergelombang yang kemudian
menetap di Negeri Soya. Mereka membentuk clan baru yang kemudian
menjadi nama pada tempat kediamanya yang
baru. Nama ini sama dengan nama di
tempat asalnya. Hal mana dimaksudkan
sebagai kenang-kenangan atau peringatan.
Negeri Soya kemudian berkembang
menjadi satu kerajaan dengan sembilan Negeri Kecil yang dikuasai Raja Soya.
Adapun kesembilan negeri kecil tersebut yakni :
± Uritetu, suatu negeri yang diperintah
oleh “Orang Kaya”. Negeri ini letaknya sekitar Hotel Anggrek. Uritetu artinya
dibalik bukit.
± Honipopu,
adalah sebuah negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”. Negeri ini letaknya di sekitar Kantor Kota Ambon saat
ini.
± Hatuela,
juga di bawah pimpinan seorang “Orang Kaya”, letaknya di antara Batu
Merah dan Tantui sekarang. Hatuela artinya Batu Besar.
± Amantelu, dipimpin oleh seorang “Patih”, yang letaknya dekat Karang Panjang. Amantelu
artinya, Kampung Tiga.
± Haumalamang, dipimpin seorang “Patih”,
letaknya belum dapat dipastikan. (diperkirakan di negeri Baru dekat Air Besar).
± Ahuseng,
dipimpin oleh “Orang Kaya”,
letaknya di Kayu Putih sekarang.
± Pera,
dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Negeri Soya sekarang
± Erang,
dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di belakang Negeri Soya sekarang.
Erang berasal dari nama “Erang Tapinalu” (Huamual di Seram).
± Sohia,
adalah Negeri tempat kedudukan Raja, letaknya antara Gunung Sirimau dan
Gunung Horil.
Setiap Rumah
Tau (mata rumah) yang ada memilih salah satu batu yang dianggap sebagai batu
peringatan kedatangan mereka pada pertama kalinya di Negeri Soya. Batu-batu ini
dianggap sebagai perahu-perahu yang membawa mereka ke tempat dimana mereka
akhirnya berdiam dan yang lasim disebut “Batu Teung”. Saat ini di Soya
dapat ditemukan beberapa Teung antara
lain :
1.
Teung
Tunisou untuk semua Rumah Tau
2.
Teung
Samurele untuk Rumah Rehatta
3.
Teung
Souhitu untuk Rumah Tau Tamtelahittu
4.
Teung
Saupele untuk Rumah Tau Huwaa
5.
Teung
Paisina untuk Rumah Tau Pesulima
6.
Teung
Rulimena untuk Rumah Tau Soplanit
7.
Teung
Pelatiti untuk Rumah Tau Latumalea
8.
Teung Hawari
untuk Rumah Tau Latumanuwey
9.
Teung
Soulana untuk Rumah Tau de Wana
10.
Teung
Soukori untuk Rumah Tau Salakory
11.
Teung
Saumulu untuk Rumah Tau Ririmasse
12.
Teung
Rumania untuk Rumah Tau Latuconsina
13.
Teung
Neurumanguang untuk Rumah Tau Hahury
14.
Teung
Niurumanguang untuk Rumah Tau Hahury
Peta Teung di Negeri Soya |
Diantara teung-teung yang
ada, terdapat dua tempat yang mempunyai
arti tersendiri bagi anggota-anggota clan tersebut yakni : (1) Baileo
Samasuru, yaitu tempat berapat dan berbicara; (2) Tonisou, yaitu suatu perkampungan khusus bagi
Rumah Tau Rehatta yang di dalam suhat pun disebut sebuah Teung. Beberapa
diantara Rumah Tau tersebut tidak lagi menetap di Negeri Soya, begitu pula
beberapa Negeri Kecil yang pernah ada
telah hilang disebabkan beberapa faktor dan perkembangan masyarakat.
Raja Soya yang pertama adalah “Latu Selemau” dan istrinya
bernama Pera Ina. Dibawah
pemerintahan Latu Selemau, Negeri Soya (termasuk 9 negeri kecil yang berada dibawah
kekuasaannya), merupakan suatu kesatuan
besar. Dalam masa kebesarannya, Latu Selemau dianugerahkan beberapa gelar
antara lain “Nusa Piring
Pahlawan” atau “Piring Pekanussa”.
Salah satu gelar yang lebih agung yang merupakan bukti kebesarannya ialah : “Latu selemau agam raden mas
sultan labu inang mojopahit” Gelar ini berkenaan dengan hubungan politik
dan hubungan dagang, bahkan perkawinan dengan orang-orang dari Kerajaan Majapahit.
a. Sistem Pemerintahan Negeri
Adapun sistem pemerintahan negeri
Soya pada mulanya merupakan sistem
Saniri Latupatih yang terdiri dari :
§ Upulatu (Raja)
§ Para Kapitan
§ Kepala-Kepala Soa (Jou), Patih
dan Orang Kaya
§ Kepala Adat (Maueng)
§ Kepala Kewang
Saniri Latupatih dilengkapi
dengan “Marinyo” yang biasanya bertindak sehari-hari sebagai yang menjalankan fungsi hubungan masyarakat
dan pembantu bagi badan tersebut. Saniri Latupatih dapat dianggap sebagai Badan
Eksekutif.
Saniri Besar yaitu persidangan
besar yang biasanya diadakan sekali setahun atau bila diperlukan. Persidangan
Saniri Besar dihadir oleh Saniri Latupatih dan semua laki-laki yang telah
dewasa dan orang-orang tua yang berada dan berdiam dalam negeri. Persidangan
Saniri Besar merupakan suatu bentuk implementasi sistem demokrasi langsung (direct
democraties).
Dalam perkembangannya, kemudian
dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan
unsur-unsur yang ada dalam negeri misalnya : pemuda, dan organisasi-organisasi
dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat dianggap sebagai
persidangan legislatif
b. Budaya Dan Agama
Gereja Soya |
Penduduk Negeri Soya adalah
masyarakat yang ramah dan religius, dengan gotong royong sebagai ciri khas
masyarakat negeri penghasil durian dan salak ini. Nilai-nilai adat dan budaya
seperti : Naik Baileo, cuci air, kain gandong, naik ke gunung Sirimau, selalu
terpelihara dengan baik dan merupakan sebuah tradisi budaya yang telah menjadi Icon
negeri dari turun temurun hingga saat ini.
Sejumlah kekayaan peninggalan
sejarah seperti gereja Soya, memberi nilai tersendiri bagi negeri ini. Letak
gereja tua Soya yang selama ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya, berada
di tengah-tengah Negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena
berdampingan dengan sekolah dan Balai Pertemuan serta Rumah Raja. Sebagai
Negeri yang kaya dengan nilai budaya dan adat istiadat, Negeri Soya merupakan salah satu daerah
tujuan wisata di Maluku. Situs Gereja Tua Soya adalah salah satu tempat yang selama ini paling banyak
dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar negeri, disamping tempat-tempat
lain seperti;Tempayang yang selalu berisi air walaupun tidak hujan yang berada
di tengah puncak Gunung Sirimau.
Tempayan Soya |
Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Maluku, Negeri Soya merupakan sebuah
kerajaan yang berdaulat dengan wilayah
kekuasaan meliputi, Teluk Ambon sampai ke Passo, Pesisir Pantai Timur sampai
Selatan Jazirah Leitimor, dibawah pemerintahan Raja yang terkenal saat itu
yakni “Latu Selemau” dengan Panglima Perangnya “Kapitan Hauluang”
. Raja dan Panglima perang ini
dibantu kapitan-kapitan kecil sebagai
kepala pasukan tombak, panah, dan parang salawaku, dengan kekuatan 300 orang
prajurit yang didukung oleh kurang lebih 1000 orang rakyat.
Hubungan dagang kerajaan Soya
dengan Hitu, Ternate, dan Tidore bahkan Raja-Raja Goa terjadi pada akhir abad
14 saat Kerajaan Mojopahit telah pudar kekuasaannya dan kerajaan Islam mulai
tumbuh. Bersamaan dengan itu, masuklah Armada Portugis yang menjadikan Kerajaan
Soya kurang dipengaruhi oleh budaya Hindu maupun Islam.
Masyarakat Negeri Soya ternyata
tidak menerima kedatangan bangsa Portugis yang bertujuan untuk melakukan
perdagangan rempah-rempah. Rakyat Negeri Soya kemudian mengangkat senjata
melawan Portugis. Perlawanan masyarakat tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu
Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa
Amangtelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan
ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan
ini berhasil merubah wajah dan status Negeri Soya dari sebuah kerajaan yang
berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai oleh Portugis. Rakyatnya
kemudian diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus
Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Kristen Katolik. Orang Soya
yang tidak mau menyerah terus bertahan
di puncak Gunung Sirimau. Mereka hidup terisolir serta tidak mempunyai hubungan
dengan kerajaan lainnya.
Pada tahun 1605 armada VOC
dibawah Pimpinan Steven vander Hagen memasuki labuhan Honipopu dan menyerang
Benteng Portugis dari arah laut serta mengambil alih Benteng Portugis dan diberi nama Victoria. Kemenangan
VOC atas Portugis membuka peluang bagi
disebarkannya paham agama Kristen Protestan oleh Pendeta-Pendeta VOC. Hasilnya
adalah, banyak orang Kristen Katholik beralih menjadi Kristen Protestan.
Kegiatan penginjilan ini
dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan kekuasaan kolonial di Pulau
Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka
gunakan untuk mengangkat pegawai asal pribumi termasuk juga mendidik dan
menthabiskan pendeta baru asal pribumi untuk kepentingan penginjilan
diantaranya; Lazarus Hitijahubessy yang diutus ke Negeri Soya untuk menyebarkan
Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilannya, Negeri Soya menjadi Kristen.
Pengkristenan ini, ternyata berpengaruh terhadap adat-istiadat masyarakat
Negeri. Secara adaptif nilai-nilai Kristiani dimasukan ke dalam adat maupun
upacara adat seperti Rapat Negeri, Kain Gandong, Naik Baileo, Cuci Air, Cuci
Negeri, naik ke puncak Gunung Sirimau dan Pesta Bulan Desember sebagai tanda
persiapan/ penyambutan Natal Kristus.
Gedung gereja tua soya walaupun
bentuknya yang sederhana, namun telah memberikan andil bagi sejarah Pekabaran
Injil di Maluku, khususnya di Negeri Soya. Kekristenan di Negeri Soya harus
diakui tidak dapat dilepaskan dari hadirnya Joseph Kham yang bertemu dengan orang-orang Kristen di Negeri Soya
pada tahun 1821. Dalam kaitannya dengan
penyebaran Agama Kristen di Maluku, Gedung Gereja Soya sebenarnya mempunyai
catatan sejarah tersendiri. Pertumbuhan Gedung Gereja Soya pada awalnya tidak
diketahui. Untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, pada tahun 1876 Raja Stephanus Jacob Rehatta memimpin
orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas bangunan Gereja secara semi
permanen yang dipergunakan sampai tahun 1927.
Pada masa pemerintahan Leonard
Lodiwijk Rehatta, Gedung Gereja Soya yang diperbaharui tahun 1927, pada
tahun 1996 kembali dipugar dan atau direstorasi dibawah panduan Bidang Museum
Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Hasil ini
hanya bertahan hingga 28 April 2002
Gereja Soya hangus terbakar. Gedung Gereja Tua Soya yang telah menjadi
Bangunan Cagar Budaya kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh
Ketua Sinode GPM Dr. Chr. J. Ruhulessin, M.Si dan Gubernur Maluku, Karel Albert
Ralahalu.
c. Asal Mula Upacara Adat Cuci
Negeri
Menurut sumber yang ada, pada
waktu dulu upacara adat cuci negeri
berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat
(bertiupnya angin barat) yang jatuh pada bulan Desember, Upacara cuci negeri dimulai. Mereka percaya
bahwa dengan bertiupnya angin barat,
akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama
dengan dipimpin oleh “Upu Nee” (initiator), para pemuda berkumpul di Samorele.
Mereka mengenakan “cidaku” (Cawat), sedangkan mukanya dicat hitam (guna
penyamaran), sebaliknya, semua wanita
dilarang keluar rumah.
Para pemuda dengan dipimpin oleh
Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi oleh seekor
Naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa,
para pemuda akan datang dari clan-clan dimana mereka berasal.
Menjelang tengah malam, para
pemuda yang ada didudukan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti
itu, datanglah naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam
perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, Naga kemudian memuntahkan mereka.
Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan
berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu, para wanita dan orang-orang tua telah
membersihkan Samasuru dan Negeri. Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu
bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya telah menunggu. Dalam prosesi tersebut,
lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan (suhat) Raja / Upulatu mengambil tempat pada
batu tempat duduknya (PETERANA) dan berbicaralah Raja dari tempat itu (Batu Stori Peterana) sambil
menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.
Sejarah mengenai jasa-jasa,
pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka
diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan
dinaikan kepada Ilahi (dalam bentuk KAPATA) yang antara lain berkisa kepada
penyelamatan negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular, dan
mohon kelimpahan berkah, Taufik dan Hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai ini
semua, semua orang pun berdiri dan dua
orang wanita (Mata Ina) yang tertua dari keluarga (Rumah Tau), Upulatu
melilitkan sebuah pita yang berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong
Sekarang).
Dari cerita tua ini, nampak jelas
pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada waktu dulu upacara
adat di Baileo (Samasuru) dilakukan
untuk merayakan lulusnya para pemuda yang lulus dari upacara initiati di puncak
Gunung Sirimau tersebut. Kemudian
setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda,
maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan
cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan,
kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk
sekarang.
Maksud dari penyelenggaraan dan
perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang
yang merasa hubungan kelaurganya dengan
Negeri Soya bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisionil,
tetapi lebih dari itu dimaksudkan untuk memelihara, dan atau menghidupkan secara terus menerus kepada generasi sekarang maupun yang akan datang, berkenaan
dengan, sifat dan nilai-nilainya yang positif.
Tidak dapat disangkal bahwa dari
keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting antara lain:
Persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur
tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat bertahan sampai saat ini. Maksud perayaan
penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut dapatlah dijelaskan
sebagai berikut :
Bahwa datuk-datuk/para leluhur
dahulu memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember
, saat permulaan musim barat (waktu bertiup angin darat).
Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari
tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat dimana mereka pernah hidup.
Disamping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur/hujan, biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim
hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar
dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain yang
harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui.
Untuk membenahi hal-hal yang
diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka para datuk-datuk menyelenggarakan
upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari
berbagai kerusakan yang terjadi.
Dengan masuknya agama Kristen
yang dibawa oleh Bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan
dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti:
meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna
kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya
dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih
ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak
Natal.
Upacara cuci negeri dengan
demikian lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian,
curiga-mencurigai (Simbolnya pada : turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air
Wai Werhalouw dan Unuwei). Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang
kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam
menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru.
Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu advent
untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.
Sejak dahulu
Negeri Soya telah terkenal dengan Upacara Adat “Cuci Negeri”. Upacara ini
menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, serta para
ilmuan. Seorang Anthropolog Amerika, Dr. Frank Cooley telah menyelesaikan
disertasinya yang berjudul “Altar and Throne in Central Moluccan Societies”
untuk mencapai gelar Doktor dengan mempergunakan banyak sekali data-data dari
upacara adat tersebut.
Adapun proses jalannya
upacara adat “Cuci Negeri” dapat dijelaskan
sebagai berikut :
o
Rapat Saniri
Besar
o
Pembersihan
Negeri
o
Naik ke
Gunung Sirimau dan Matawana
o
Turun dari
Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
o
Upacara Naik
Baileo Samasuru
o
Kunjungan ke
Wai Werhalouw dan Uniwei
o
Persatuan
dalam Kain Gandong
o
Kembali Ke
Rumah Upulatu (Raja)
o
Pesta Negeri
o
Cuci Air
1.
Rapat Saniri Besar
Upacara adat
Cuci negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember.
Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat
Saniri Besar, dimana berkumpul semua
orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat
untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini,
terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai
hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang
langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat
inilah, masalah upacara adat
dibicarakan.
2.
Pembersihan Negeri
Pada hari Rabu minggu kedua bulan
Desember semua rakyat diwajibkan keluar untuk membersihkan negeri secara gotong
royong. Pembersihan tersebut dimulai dari depan Gereja sampai ke Batu Besar,
pekuburan, dan Baileo. Dalam kerja ini, Seorang wanita yang baru saja kawin
dengan seorang pemuda Negeri Soya diterima sebagai “Mata Ina Baru” yang wajib
mengambil bagian dalam upacara ini untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat Negeri Soya.
Berkenaan dengan pembersihan
Baileo, proses ini diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut “pica
baileo”. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang
hadir pada saat itu. Yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah
suasana gotong royong, kekeluargaan, dan persatuan.
3.
Naik Ke Gunung Sirimau
Pada hari Kamis malam minggu kedua, sekumpulan orang laki-laki yang
berasal dari Rumah Tau tertentu (Soa Pera) berkumpul di Teong Tunisou untuk
selanjutnya naik ke Puncak Gunung Sirimau. Dengan iringan pukulan tifa, gong,
dan tiupan “Kuli Bia” (kulit siput). Di sana, mereka membersihkan Puncak Gunung
Sirimau sambil menahan haus dan lapar.
4.
Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
Keesokan harinya, Jumat sore,
orang-orang laki-laki yang sejak malam berada di puncak Gunung Sirimau turun
dari Gunung Sirimau. Mereka kemudian
disambut untuk pertama kalinya di Soa Erang (Teung Rulimena). Di sana mereka dijamu dengan sirih pinang, serta sopi..
Setelah itu rombongan menuju baileu. Di
Baileo mereka disambut oleh Mata Ina dengan gembiranya.
5.
Upacara “Naik Baileo” (Samasuru)
Mempersiapkan upacara Naik
Baileo, rombongan “mata Ina” (ibu-ibu) dengan iringan tifa gong, pergi menjemput Upulatu (Raja) serta
membawanya ke Baileo, sementara seluruh
rakyat telah ber-kumpul di Baileo menantikan Raja dan rombongan. Di pintu
Baileo, Upulatu disambut oleh seorang
Mata Ina dengan ucapan selamat datang serta kata-kata penghormatan sebagai
berikut :: “Tabea Upulatu Jisayehu,
Nyora Latu Jisayehu, Guru Latu Jisayehu. Upu Wisawosi, Selamat
datang -
Silahkan Masuk ” - Raja kemudian
memasuki Baileu dan saat itu upacara segera dimulai.
Dengan iringan tifa dan gong yang
bersemangat, para “Mata Ina” secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu
lidi dan gadihu, suatu tanda berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan.
Kepala Soa sedang melakukan Pasawari Adat |
Setelah itu, Upulatu melanjutkan acara dengan
menyampaikan titahnya kepada rakyat. Titah itu mempunyai arti yang besar bagi
rakyat, yang oleh rakyat dipandang sebagai suatu pidato tahu-an yang
disampaikan oleh Raja. Tita Upulatu kemudian dilanjutkan oleh Pendeta (Guru
Latu) yang selanjutnya dikuti dengan
penjelasan tentang arti Kain Gan-dong oleh salah seorang Kepala Soa yang
tertua. Selanjutnya Kepala Soa Adat melaksanakan tugasnya dengan “Pasawari
Adat” atau “Kapata”, suatu ucapan dalam
bahasa tanah yang dimaksudkan untuk memintakan dari Allah perlindungan bagi
negeri, jauhkan penyakit-penyakit, memberikan panen yang cukup, serta
pertambahan jiwa untuk negeri.
Sesudah itu segera tifa
dibunyikan dan “suhat” (Nyanyian Adat) mulai dinyanyikan. Pada garis besarnya
nyanyian tersebut mengisahkan peringatan kepada Latu Selemau serta datuk-datuk
yang telah membentuk negeri ini, penghormatan kepada tugu-tugu peringatan dari
kedatangan Rumah-Tau (Teung serta penghargaan kepada air yang memberi hidup)
(Wai Werhalouw dan Unuwei).
6. Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
Sambil menyanyi, rombongan
terbagi dua, sebagian menuju air Unuwei, (anak Soa Erang dan Rakyat lainnya).
Di sana setiap orang mencuci tangan, kaki, dll, kemudian rombongan yang datang
dari air Unuwei berkumpul di Soa Erang (Teung Rulimena) sambil menantikan
rombongan dari Wai Werhalouw (Soa Pera).
7.
Persatuan Dalam “Kain Gandong”
Rombongan bersatu dalam kain gandong |
Di Teung Tunisouw, telah
dipersiapkan Kain Gandong yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang “Mata
Ina” yang tertua dari Soa Pera membentuk huruf U menantikan rombongan yang naik
dari Wai Werhalouw. Setelah rombongan ini masuk ke dalam Kain Gandong, maka Kain
Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali (sebutan orang Soya: Dibailele)
mengelilingi rombongan, kemudian menuju rumah Upulatu Yisayehu. Dari sini,
rombongan dari Tunisou melanjutkan perjalanan menuju Soa Erang (Rulimena) untuk
menjemput rombongan. di Soa Erang, rombongan dari Tunisou dielu-elukan oleh
rombong-an Soa Erang yang kemudian menyatukan diri dalam Kain Gandong. Di
tempat itu pula Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi
rombongan yang telah bersatu tersebut.
Rombongan Soa Pera dijamu oleh
rombongan Soa Erang dengan hidangan ala kadarnya sebagai penghormatan dan rasa
persatuan. Disamping itu, disediakan juga satu meja persatuan dengan makanan
adat bagi para tamu yang tidak pergi ke Unuwei. Selanjutnya kedua rombongan
yang telah bersatu dalam Kain Gandong tersebut sambil bersuhat menuju kembali
ke rumah Upulatu.
8.
Kembali Ke Rumah Upulatu
Di rumah Upulatu, rombongan
kemudian menggendong Upulatu dan istrinya dan orang tua-tua lainnya ke dalam
kain gandong sambil berpantun. Dengan demikian lengkaplah seluruh unsur dalam
negeri sebagai satu kesatuan. Prosesi ini menandai berakhirnya seluruh
rangkaian upacara. Prosesi ini
kemudian dibubarkan, dan Kain Gandong disimpan di rumah Upulatu.
Para tamu yang ada kemudian dijamu
dengan makanan adat di rumah Upulatu.
9.
Pesta Negeri
Upacara Cuci Negeri akan menjadi
lengkap dengan pesta negeri yang merupakan suatu ungkapan suka-cita,
kebersamaan, dan kekeluargaan, atas semua proses upacara cuci negeri yang boleh
dilakukan. Pesta ini biasanya sangat
meriah karena dihadiri oleh seluruh rakyat. Pesta itu diisi dengan badendang,
tifa, Totobuang, Menari, dll.
10.
Cuci Air
Pada keesokan harinya,
Sabtu, setelah berpesta semalam suntuk,
semua orang menuju kedua air (Wai Werhalouw dan Unuwei) untuk membersihkannya.
Hal ini dimaksudkan agar air selalu
bersih untuk dapat digunakan oleh masyarakat.
11. Musik dan tarian Negeri Soya
Masyarakat Negeri Soya pada
umumnya yang mendiami daerah-daerah di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung
Sirimau khususnya memilki berbagai aneka potensi seni budaya. Potensi seni
budaya itu berupa tarian daerah, alat musik khas daerah serta upacara adat.
Musik dan tarian ini sering dibawakan pada upacara adat, perkawinan maupun
menyambut tamu yang diiringi alat musik tradisional seperti tifa, suling,
totobuang, dan gitar. Bagi masyarakat Negeri Soya salah satu tarian yang sangat
terkenal yaitu Tari Tujuh Lompat. Tarian ini terdiri dari 28 orang yang terbagi
atas14 laki-laki dan 14 perempuan. Formasi tarian tujuh lompat ini membentuk
huruf W yang berarti raja Wihelmus dari Belanda. Oleh karena itu tarian ini
berasal dari Portugis belanda.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil
penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) yang dimiliki Hutan Lindung Gunung Sirimau, antara lain berupa keanekaragaman hayati, keindahan bentangan alam, keaslian budaya tradisional, musik dan kesenian daerah, peninggalan sejarah atau budaya yang secara optimal dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat.
- Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Sirimau menempati posisi pada Kuadran Pertama strategi (SO) diagram SWOT, sehingga alternatif strategi yang dirumuskan berdasarkan pertimbangan pengelolaan Hutan Lindung Gunung Sirimau yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan dan peluang sebesar-besarnya.
- Prioritas strategi yang tepat untuk pengelolaan ekowisata pada kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau yaitu (1) Mempromosikan nilai potensi dan budaya yang dimiliki HLGS serta produk wisata unggulan lainnya. (4,15); (2) Merumuskan kebijakan daerah tentang pengelolaan HLGS (3,40); (3) Mengembangkan paket agrowisata (3,2); (4) Meningkatkan ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat (2,77) dan (5) Meningkatkan peran dan kinerja para stakeholders dalam pengelolaan HLGS (2,60)
Saran terhadap Pengembangan Hutan Lindung Gunung Sirimau kedepannya yaitu :
- Keseluruhan potensi ODTWA di Hutan Lindung Gunung Sirimau merupakan suatu aset Negara yang tidak ternilai harganya, oleh karenanya untuk meraih sasaran pengelolaan secara optimal, maka pengelolaannya harus dilaksanakan secara terkoordinasi, terintegrasi dan berkelanjutan.
- Diperlukan penelitian lanjutan pada daerah-daerah lainnya untuk mendukung program pemerintah kota dalam mengembangkan ekowisata di Kota Ambon.
"SEMOGA BERMANFAAT"
Beta pribadi sangat berterimaksih kepada kaka yang suda membantu beta dengan adanya penjelasan terkait adanya salah satu ekowisata di kepulauan Maluku ini,sakali dangke banya banya
BalasHapus