ROMANG UNTUK RAKYAT ATAU NEGARA”
(Kajian Litelatur Aspek Ekonomi Kegiatan Pertambangan)
oleh: Benjamin Th. Soumokil
Sektor pertambangan
mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional, dimana bahan tambang di
Indonesia beraneka ragam, mulai dari bahan logam, non logam, gas, panas bumi
dan minyak yang cukup melimpah. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa sumber daya alam
Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat, sehingga bahan tambang juga dikuasai oleh negara untuk kemakmuran
rakyat.
Pulau romang secara
administratif berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Maluku Barat Daya
(MBD). Luas wilayah pulau romang sebesar 1.129,6 km2 meliputi luas
daratan 192,20 km2 dan luas laut 465,8 km2 (dikelola
kabupaten) dan 472,6 km2 (dikelola provinsi). Kawasan Pulau Romang
merupakan kawasan strategis nasional, karena sebagian besar dari pulau ini
memiliki sumber mineral tambang yang telah selesai dieksplorasi dan dalam
persiapan untuk melakukan eksploitasi. Pulau Romang memiliki tiga desa dengan
total jumlah penduduknya sebanyak 3538 jiwa atau 893 kepala keluarga. Sebagian besar
penduduk di Pulau Romang bermata pencarian sebagai petani dengan persentase
Desa Hila (80,9%), Desa Solath (78,7%), dan Desa Jerusu (90,6%).
PT. GBU (Gemala Borneo Utama) adalah sebuah
perusahaan milik Australia yang sedang melakukan eksploitasi tambang emas di Pulau
Romang. menjadi alasan prinsip dari masyarakat Pulau Romang guna mengusir
perusahan yang telah ada sejak tahun 2006 perusahaan itu beroperasi, rakyat
tidak pernah mendapatkan sesuatu dari perusahaan milik asing itu, yang terjadi
adalah terkesan perusahaan itu bekerja secara liar, merusak lingkungan. Semua
hasil hutan berupa perkebunan pala hutan ribuan hektar, cengkeh ribuan hektar
dan hutan lindung yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat di sana
kini menjadi rusak berantakan. Kehadiran PT. GBU di Pulau Romang atas ijin
pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), masa pemerintahan Bupati
Oratmangun, ketika MBD masih menjadi satu dengan MTB tahun 2006.
Selain itu, perusahaan ini terus mengintertein beberapa orang yang disebutkan
sebagai penguasa pulau itu, antara lain Kepala Desa Jerusu ketika itu Simon
Talupun, dan Kepala Desa Hila, Librek Johansz. Setelah berhasil mengelabui para
tokoh ini dengan sekedar uang sirih-pinang, perusahaan ini mulai mengusur lahan
membongkar hutan yang masih penuh dengan berbagai hasilnya yang selama
berabad-abad menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di sana. Sejak itu pula
perusahaan ini mulai mengakut ribuan ton matrial yang disedot dari perut bumi
Pulau Romang untuk di krim ke Suarabaya dengan dalih sekedar sebagai sampel
untuk keperluan uji lab. Sejak tahun 2006 perusahaan ini rutin mengirim ribaun
ton material tiap 3 kali dalam seminggu, melalui Bandar Udara Eltari Kupang pun
melalui Ambon (
“Masyarakat
hanya menggoyang batang pohon pala dan buahnya yang sudah tua akan jatuh, kemudian
di goyang lagi dan buahnya jatuh kembali. Tidak perlu memetik langsung di atas
pohon,” ujar Oyang Orlando Petrusz, Tokoh masyarakat pulau Romang. Sumberdaya
alam Pulau Romang memang melimpah. Selain tumbuhan umur panjang seperti Pala
hutan, Pala super dan Cengkeh, kawasan hutan Romang juga dijadikan lahan Kakao.
Sementara hasil hutan yang paling dominan adalah kayu cendana. Kawasan lautnya,
juga dihuni banyak organisme; Lola, Teripang dan Ikan berbagai jenis. Kesuburan
tanah seluruh Pulau di kabupaten Maluku Barat Daya ini di pengaruhi kondisi
alam. Seperti Romang, Damer, Wetar dan Babar pulau memiliki kesuburan tanah,
karena daerah-daerah memiliki titik basah atau curah hujan tinggi sehingga
menyebabkan tanahnya subur. Khusus di Romang, waktu suburnya tanah, mulai dari
Oktober, November hingga Desember. Pala hutan di Pulau Romang, mempunyai buah
berukuran besar dan berkualitas. Biasanya buah pala yang hanya dipungut dibawah
pohon tersebut setelah itu dikeringkan. Baik bunga maupun isinya dihargai Rp.70
ribu sampai Rp.80 ribu per kilogram. “Tapi
itu dulu”. Sejak PT GBU masuk hutan 2006, tumbuhan-tumbuhan ini mulai
terganggu kehidupannya. Memang masih ada, tapi kuantitas dan kualitas rendah. (www.kompasiana.com)
Sementara hal berbeda disampaikan dalam diskusi terbuka antara
DPRD Maluku, Mahasiswa asal Maluku Barat Daya (MBD) dan Tim Independen dari
Universitas Pattimura, yang membuka beberapa hasil kajian dan analisis dampak
lingkungan di lokasi tambang emas di Pulau Romang, MBD. Tim independen yang
beranggotakan beberapa pakar lingkungan dari Unpatti memaparkan penemuannya saat
meninjau Pulau Romang, guna memastikan informasi pencemaran lingkungan di area
tersebut. “Kajian dan analisis yang kami
lakukan sangat teliti. Jika menemukan adanya kerusakan lingkungan di Romang
maka kami rekomendasikan tambang ditutup. Namun kami tidak menemukan adanya
kerusakan lingkungan seperti yang diributkan. Semua masih baik tanpa tercemar,”
ujar Jusmy Putuhena, salah satu anggota tim Independen Unpatti. Dalam diskusi
terbuka, tim independen baru saja melakukan kajian dan anilisis terkait
informasi yang diungkapkan oleh sejumlah masyarakat kalau lingkungan berada di
seputaran lokasi tambang telah tercemar. Namun nyatanya, setelah melakukan
analisis dan penelitian, tim tidak menemukan kerusakan maupun pencemaran
lingkungan, selain itu kata Jusmy tim juga melakukan penjaringn informasi dari
masyarakat soal produksi pertanian dan perikanan yang mengalami penurunan
produksi. “Ternyata informasi tersebut
tidak benar. Produksi pertanian seperti madu masih lancar, dimana kebanyakan
hasil madu dijual ke perusahaan. Produksinya memang mengalami penurunan karena
sudah banyak petani madu yang bekerja di perusahaan.” Sama halnya dengan
perikanan, tidak ada penurunan akibat faktor tambang. Kecuali jumlah nelayannya
yang berkurang karena sudah bekerja di perusahaan
Putuhena juga membandingkan
tingkat kepercayaan tahun ini mengalami penurunan hingga 80 persen jika
dibandingkan tahun kemarin 99 persen. Hal tersebut diakibatkan oleh isu-isu
yang dimainkan oleh pihak tertentu, diantarana isu pulau romang akan tenggelam,
pencemaran dan lain sebagainya. “Untuk
itu, saya meminta kepada masyarakat agar melihat yang sebenarnya dengan
langsung turun ke lokasi, bukan melihat dengan telingga,”.
Sejalan dengan itu, Camat Romang
AJ Ezauw yang ikut hadir dalam diskusi membenarkan tidak ada penurunan produksi
perikanan akibat tambang. Menurutnya, penurunan tersebut disebabkan oleh musim
serta terserangnya rumput laut oleh hama, meski begitu pihaknya akan melakukan
koordinasi bersama Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku untuk produktifitas budidaya
rumput laut di Romang. Ezauw juga mengklarifikasi isu yang mengatakan Gubernur,
Bupati, Kepala Dinas ESDM Maluku hingga Camat, telah menjual Romang. Kabar itu
sangat menyesatkan dan tidak bisa dipertangunggjawabkan. (kilasmaluku.fajar.co.id)
Kegiatan penambangan
hampir dipastikan akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat, ekonomi,
pendidikan dan lingkungan, baik berdampak positif maupun negatif. Meninjau dari aspek ekonomi kegiatan penambangan, maka
dapat diklasifikasikan kedalam dua konsekwensi ekonomi, yaitu pertama
konsekwensi ekonomi jangka pendek dan kedua konsekwensi ekonomi jangka panjang.
1.
Konsekwensi Ekonomi Jangka Pendek
Dengan dibukanya kegiatan
pertambangan pada suatu lokasi atau wilayah yang bertuan maka secara ekonomi
dapat membawa manfaat positif bagi wilayah dimaksud, dimana dapat meningkatkan
kesempatan kerja, meningkatkan roda perekonomian sektor dan sub sektor lain di
sekitarnya, dan menambah penghasilan Negara
maupun Daerah dalam bentuk pajak, retribusi ataupun royalti.
2.
Konsekwensi Ekonomi Jangka Panjang
Kegiatan
ekonomi terbagi menjadi tiga, yaitu kegiatan produksi, distribusi, dan
konsumsi. Konsekwensi ekonomi jangka panjang yang dapat dirasakan akibat
aktivitas pertambangan yaitu dengan adanya efek daya rusak tambang pada wilayah
sekitar pertambangan (kerusakan
lingkungan dan sosial), maka akan sangat berpengaruh bagi kegiatan ekonomi,
dimana akan tercipta penghancuran tata produksi, distribusi, dan konsumsi lokal
seperti diuraikan berikut ini :
· Rusaknya
tata produksi
Pertambangan membutuhkan lahan yang
luas sehingga rakyat akan kehilangan
tanah dan wilayah milik rakyat yang selama ini dikelola oleh rakyat untuk
kebutuhan hidup saat ini maupun akan datang. Jelasnya masyarakat sudah pasti
akan kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) sehingga melumpuhkan
kemampuam masayarakat sekitar untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan pokok
mereka sendiri.
· Rusaknya
tata distribusi
Kegiatan distribusi pada wilayah
sekitar daerah pertambangan sudah tentu akan didominasi oleh arus masuknya
barang dan jasa dari luar kedalam komunitas, sehingga memaksa rakyat lokal menjadi konsumen dalam proses sirkulasi barang dan
jasa.
· Rusaknya
tata konsumsi
Lumpuhnya tata produksi dan
distribusi menjadikan masyarakat makin
tergantung pada barang dan jasa yang datang dari luar, sementara sebelum
kegiatan pertambangan dilaksanakan masyarakat memiliki kemampuan (survive) untuk sanggup memenuhi
kebutuhannya sendiri. Dengan ketergantungan pada barang dan jasa dari luar,
maka masyarakat akan terlibat jauh dalam jerat ekonomi yang cenderung melihat
tanah dan kekayaan alam sebagai faktor produksi yang bisa ditukar dengan
sejumlah uang, belum lagi masyarakat memiliki ketergantungan terhadap proses
ekonomi uang kontan karena semua kebutuhan telah terintegrasi pada sistem
pasar, dimana dapat mengevolusi perilaku
ekonomi masyarakat menjadi konsumtifisme.
Kajian singkat yang
telah diuraikan diatas, paling tidak dapat memberikan sedikit gambaran
keberadaan Pulau Romang dengan polemik sumber daya alam-nya diantara rakyat, dan
negara”. Pandangan ekonomi yang disampaikan, kiranya dapat menjadi satu
acuan bagi para pengambil keputusan dan kebijakan di negara ini. Konsekwensi
Ekonomi Jangka Pendek atau Konsekwensi Ekonomi Jangka Panjang yang akan
dipilih, menjadi hal penting untuk dipertimbangkan. Akhirnya mengutip kembali
UUD 45, bahwa sumber daya alam Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. HOTUMESE
Sumber
:
taen
hine, investigasi daya rusak pertambangan